Di daerah lain dan bahkan di negara lain, ikan sidat dipercaya memiliki khasiat dan manfaat gizi yang baik bagi tubuh manusia, dimana nilai gizinya jauh lebih baik daripada jenis ikan lainnya, termasuk ikan salmon sekalipun.
Di negara Jepang terkenal dengan olahan ikan sidat yang bernama unagi, kabayaki dan olahan ini terkenal dimana-mana.
Selain Jepang di negara Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Thailand juga mengenal olahan dari ikan sidat ini, termasuk di Indonesia juga gak asing, terutama untuk masyarakat kelas atas.
Namun untuk masyarakat biasa, ikan sidat masih asing. Malah dari mereka masih menyamakan ikan sidat sama seperti belut, padahal ini dua hal berbeda.
Secara morfologi meski bentuknya serupa tetapi sidat dan belut itu berbeda. Jelas itu dan gak bisa didebat.
Mungkin, istilah 'belut' akhirnya bergeser, untuk menyebut hewan air menyerupai reptil ular, dengan bentuk memanjang, licin, berlendir, hitam dan senang bermain di liang² yang basah atau berair, itu diistilahkan 'belut'. Jadi apapun yang dimaknai seperti ini, orang² mayoritas akan menganggap nya sebagai 'belut'.
Bahkan di Maluku saja, dimana di sana ikan sidat hidup berdampingan dengan masyarakat, mereka menyebutnya sebagai 'belut morea', padahal jelas berbeda belut dan ikan sidat, tidaklah sama, ini yang perlu dipahami banyak orang dan perlu diberikan pemahaman yang benar.
Perbedaan secara morfologi antara ikan sidat dan belut ada pada sirip insang atau orang sering sebut bertelinga (untuk ikan sidat) dan mempunyai sirip dorsal memanjang hingga ke ekor, sedangkan belut tidak punya itu.
Ikan sidat bisa hidup di dua perairan, air darat saat dewasa dan air laut ketika akan kawin dan menetas dari telur hingga larva, hingga menuju glass ell, sidat² junior ini akan berenang kembali ke perairan darat untuk membesarkan diri dan hidup di sana (perairan darat).
Pemahaman dan pengetahuan ini harus dipahami banyak orang agar tidak lagi salah kaprah.
Mari kita bahas jenis sidat yang dianggap masyarakat Maluku sebagai hewan yang dikeramatkan.
Seperti yang disinggung sedikit di atas, ikan sidat bagi masyarakat di sana dianggap sebagai 'belut', mereka menyebutnya sebagai belut morea.
Ilustrasi, ikan sidat dewasa yang mungkin usianya sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan masyarakat. Gambar diambil dari Google
Belut Raksasa atau Morea hidup di suatu tempat keramat bernama Kolam Waiselaka di Desa Waai, Kecamatan Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah berbatasan dengan Kota Ambon.
Ukuran hewan keramat ini sangatlah besar, panjangnya bisa sampai satu meter, bahkan ada yang mencapai 2 - 2,5 meter, dengan bobot 10 kg hingga 30 kg.
Masyarakat setempat sering memanggilnya dan memberikan makan telur ayam mentah. Hewan air keramat ini terkenal jinak dan masyarakat yang ingin menyentuhnya bisa melakukannya dengan mudah.
Hewan ini menjadi keramat dikarenakan kisah² dongeng masa lalu. Dikisahkan pada zaman dulu penduduk dari gunung ingin pindah ke pinggiran pantai. Kebutuhan hidup di sana dinilai lebih baik, seperti makanan dan lain-lainnya. Lalu, dilemparlah tombak dari jauh yang diyakini berkekuatan gaib dan tertancaplah di tanah yang sekarang di pinggirannya kolam. Dari sana keluarlah air dan ikan-ikan serta Morea. Kondisi ini adalah pertanda ada mahluk hidup di sana dan bisa menjadi tempat tinggal. Tapi tentu, mahluk-mahluk di dalam airnya termasuk Morea dilarang untuk dibunuh.
Saat ini di lokasi tersebut dijadikan tempat wisata, dimana wisatawan yang datang bisa melihat 'belut morea' ini. Jam potensial untuk melihat hewan keramat ini adalah jam 16:00, dipercaya pada jam tersebut jam makan biologis si hewan yang dinamai belut morea.
Belut morea ini dipercaya bisa hidup di dua air, yaitu air tawar sungai dan air laut, ketika akan kawin dan memijah morea ini akan menuju laut, kemudian larva telurnya akan pergi kembali ke perairan darat untuk berkembang menjadi dewasa.
Siapakah belut morea ini?
Jadi hewan yang dianggap keramat ini sebenarnya adalah ikan sidat. Dari mana tahunya? Jelas dari siklus hidupnya, sangat sesuai dengan siklus hidup ikan sidat serta ciri fisik dari sidat itu sendiri.
Karena jenis belut apapun tidak bisa hidup di dua perairan air tawar sungai dan air laut. Sedangkan ikan yang bisa melakukan ini hanya salmon dan sidat. Jika salmon gak mungkin, karena morfologinya berbeda, salmon lebih mirip dengan ikan pada umumnya. Sedangkan sidat bentuknya menyerupai dengan belut, tapi bukan belut.
Itu wajar jika masyarakat yang gak paham menyebutnya sebagai belut, karena hewan² seperti itu dipanggil dengan istilah belut, padahal bukan termasuk keluarga belut.
Lalu jenis sidat apa yang ada di sana?
Kita tahu bahwa terdapat 18 jenis spesies sidat di dunia. Terdapat 7 jenis di Indonesia. Namun yang populer adalah Anquila Marmorata dan Anquila Bicolor.
Lokasi hidup Anquila Bicolor umum di Kepulauan Mentawai: Sungai Muko-muko; Bengkulu : Sungai Ketau; Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Banten ; Perairan Donggala, Sulawesi.
Lokasi hidup Anquila Marmorata di Teluk Tomini Poso, Sulawesi Utara (Sungai Poigar, Amurang, Inobonto); Kalimantan Timur (Sungai Sangata).
Anquila marmorata, gambar diambil dari Google
Melihat lokasi hidup jenis sidat yang populer di Indonesia, jenis Anquila Marmorata ini hidup di perairan sekitar utara Indonesia. Wilayah Maluku dekat dengan Sulawesi Utara, jadi kemungkinan ikan sidat yang dianggap sebagai belut morea itu adalah ikan sidat jenis ini.
Melihat dari morfologi tubuh belut morea ini pun cocok dengan fisik dari Anquila Marmorata.
Bagi pembudidaya sidat, Anquila Marmorata dikenal sebagai sidat batik, karena pada kulit sidat ini ada seperti loreng batik. Sering juga disebut sidat kembang, moa raksasa.
Tubuh sidat jenis ini di alam liar bisa mencapai ukuran yang sangat besar, seperti yang sudah dibahas di atas tadi. Sidat betina mempunyai variasi panjang 2 meter, dan sidat jantan mempunyai variasi panjang 1,5 meter.
Nah jadi sudah jelaskan, belut morea adalah ikan sidat, bukan belut, sekali lagi bukan belut. Jenis sidatnya adalah A. Marmorata.
Kondisi ini sangatlah positif sebenarnya untuk prospek budidaya sidat. Karena indukan sidat dewasa yang memang sudah besar di alam tidaklah diambil untuk dikonsumsi.
Sehingga peluang mereka untuk memijah ke palung laut, dan menghasilkan larva² sidat yang jumlahnya ribuan akan potensial dan menghasilkan siklus hidup sidat² baru.
Nah para pembudidaya sidat hendaknya memproses budidayanya di rumah atau di lahan budidaya adalah dari larva sidat atau GE, bukan yang sudah berukuran besar.
Pembudidaya instan macam begini saya katakan sebagai pembudidaya tolol!
Karena apa, daging sidat konsumsi untuk pasar restoran atau layak konsumsi adalah sidat² hasil pembudidayaan sejak GE ke usia 2 tahun maksimal, selepas itu ikan sidat tidak enak untuk dikonsumsi.
Para pembudiaya pun pada akhir wajib melepasliarkan sidat² yang telah melewati masa layak konsumsi itu kembali ke alam, bukan memaksakannya untuk dijual dan dikonsumsi, karena memang dagingnya sudah tidak enak.
Tekstur dagingnya menjadi alot, tidak lumer ketika disantap, kemudian kulitnya tebal dan keras, intinya sangat tidak layak untuk dikonsumsi.
Jadi sebenarnya siklus hidup sidat akan tetap terjaga baik jika pembudidaya cerdas saling bersinergi mendukung kembali ekosistem. Karena sidat² yang sudah lepas masa pembudiayan layak konsumsi hendaklah bisa dilepasliarkan sebagai bentuk CSR mereka kepada lingkungan.
Masalahnya, budaya dan kelakuan manusia di Indonesia ini berbeda. Orang Ambon, Maluku di sana punya kisah² keramat yang ini positif untuk kelangsungan hidup sidat. Tapi tidak di Jawa atau daerah lain, dimana manusia² perusak banyak tersebar.
Coba ya, ini di Jawa, orang² tolol liat ikan atau 'belut' macam ini langsung dijarah, dipancing dan dibawa pulang dengan kebanggaan, "dapat ikan tangkapan besar". Kelakuan ini bukan 1-2 orang, tapi mayoritas orang² nya begitu.
Jadi sangat wajar di daerah lain ikan sidat ini gak bisa hidup berdampingan dengan masyarakatnya ditambah ekosistem sungai dan muara di daerah lain di Indonesia sudah tidak layak, karena kotor dengan limbah² berbahayanya.
Kembali lagi, bagi pembudidaya walaupun mengambil benih dari alam, tetapi mereka pun juga harus mengingat dan jadi agen penyeimbang ekosistem, dan tidak jadi pembudidaya serakah.
Satu hal yang lagi dan terus dikampanyekan, bahwa hentikan mengambil sidat ukuran besar dari alam untuk alasan budidaya atau hanya kesenangan semata (memancing). Jika dipelihara okelah, tapi tidak untuk diperjual belikan.
Jika mau dipelihara untuk hiasan di rumah, belilah sidat hasil budidaya yang usianya lebih dari dua tahun, tapi bukan yang dari alam. Dan apabila nanti sudah tidak mau pelihara lepas liarkan kembali ke muara, supaya bisa memijah dan bertelur menghasilkan sidat² junior yang baru.
Jangan pernah ambil sidat alam berukuran besar, atau sidat ukuran elver, fingerling dan dewasa dari alam untuk budidaya atau diperjualbelikan ke pasar konsumsi!
Jadilah pembudidaya yang cerdas, memahami apa yang mau dipelihara dan jangan jadi pembudidaya yang serakah.
Yang suka mancing, kalau dapat ikan seperti ini, jangan dibawa pulang, lepas liarkan kembali, gunakan sistem catch and release, supaya mereka bisa bersiklus dengan normal.
Segitu saja sharing dan bahasan soal sidat keramat di Maluku, semoga bisa memberikan pencerahan buat kita semua. -ngp
#onedonepost
#budidayasidat
#teori
#umum
#anguilamarmorata
#sidatmorea
#morea
#bukanbelu
#sidatbukanbelut
Jika ada yang bilang ikan sidat alam enak? Dia dipastikan gak paham. Sidat yang enak dikonsumsi adalah sidat budidaya, bukan sidat alam. Jika kamu masih ngeyel, itu menunjukan kebodohan anda.
BalasHapusSaya membaca dari sebuah komentar postingan video, yang bilang, itu dagingnya enak, merujuk pada sidat alam yang tengah ditangkap. Itu yang saya angap dia tidak tahu apa yang dia ucapkan, karena selama ini dia hanya tahu, katanya, katanya, katanya. Apalagi ada yang bilang, harganya mahal itu. Sekali lagi, mereka orang bodoh yang menyesatkan.
Jadi hentikan menangkap sidat alam ukuran besar, kalau mau tangkap adalah ketika glass ell, budiaya dan pelihara, baru itu yang dikonsumsi. Selebihnya lepaskan kembali ke alam ketika bsar, itu bentuk CSR mu untuk alam.